Sunday, May 15, 2011


Merujuk kepada panduan pelaksanaan Homeschooling yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dimana proses pembelajaran itu dapat berlangsung secara kondusif dengan tujuan dapat mengasah potensi, bakat dan minat masing-masing anak. Dengan Homeschooling akan tercipta situasi yang nyaman dan aman sehingga anak tidak mendapat tekanan dan menjadikan proses pembelajaran menjadi sebuah beban.  
            
  “Seto Mulyadi mengatakan dalam bukunya (2007) secara etimologis, home schooling adalah sekolah yang diadakan di rumah. Meski disebut home schoooling, tidak berarti anak akan terus menerus belajar di rumah, tetapi anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti layaknya berada di rumah.  Keunggulan secara individual inilah yang memberi makna bagi terintegrasinya mata pelajaran kepada peserta didik”.
             “Kak Seto (2007:7) Home Schooling bukanlah lawan dari pendidikan formal dan nonformal (kursus-kursus). Home schooling tidak melarang seorang anak untuk bersekolah di sekolah  formal. Apa yang mungkin kurang di sekolah formal diharapkan dapat ditambal oleh Home Schooling. Anak-anak yang tidak dapat diterima di sekolah formal harus dapat memperoleh hak belajarnya di sekolah nonformal”.

            Sumardiono (2008), mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada definisi tunggal dari homeschooling. Namun, prinsipnya adalah bahwa pada sistem pendidikan homeschooling, sebuah keluarga bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Di sini, orang tua bertanggung jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara aktif ini maksudnya adalah orangtua terlibat penuh pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan ketrampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak.
           
“Seto Mulyadi (2007:7) setidaknya ada 3 manfaat yang dipancarkan oleh home schooling. Pertama, home schooling mengingatkan atau menyadarkan orang tua bahwa pendidikan untuk anak tidak dapat di pasrahkan sepenuhnya kepada pendidikan formal. Kedua, home schooling dapat menampung anak-anak yang karena alasan alasan tertentu tidak dapat belajar di sekolah formal. Dan ketiga, dapat menjadi pelarian dari sekolah sekolah formal dan non-formal dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas pendidikannya”.
             
Pada perkembangannya, ada beragam model homeschooling yang dapat kita temui. Seto Mulyadi, salah satu praktisi homeschooling mengemukakan bahwa ada 3 model homeschooling, yakni homeschooling tunggal, homeschooling majemuk, dan komunitas homeschooling. Pada homeschooling tunggal, keluarga menerapkan homeschooling secara mandiri, sesuai dengan yang diinginkan tanpa bergabung dengan keluarga homeschooling lainnya. Pada homeschooling majemuk, beberapa keluarga bergabung melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, namun kegiatan pokok tetap menjadi tanggung jawab keluarga masing-masing. 

Perbedaan yang paling mendasar antara anak-anak homeschooling dengan anak-anak sekolah pada umumnya tentu saja berkaitan dengan berangkat ke sekolah. Anak-anak homeschooling tidak perlu berangkat ke sekolah 6 hari perminggu, mereka juga tidak mengenal beragam liburan berkaitan dengan kalender pendidikan, mereka tidak mengenakan seragam, dan mereka hanya menjalani ujian jika memang model homeschooling yang mereka tempuh bekerjasama dengan sekolah. Jika tidak, anak-anak homeschooling tidak akan menempuh ujian layaknya anak-anak sekolah. Jumlah jam belajar mereka sehari berbeda dari anak-anak sekolah umum, dan materi yang diajarkan dapat saja berbeda dengan yang diajarkan di sekolah umum. Berkaitan dengan materi, sejak awal homeschooling dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya, sehingga materi yang diajarkan disesuaikan dengan minat dan kebutuhan belajar anak pada saat itu.

Kurikulum pembelajaran home schooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner home schooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat.
Pada umunya keluarga yang memutuskan agar anaknya menjalani home schooling akan menunjuk suatu lembaga yang berwenang untuk merekomendasikan suatu paket pembelajaran yang ditawarkan dalam home schooling yang pendidikannya setara dengan pendidikan formal. Didalamnya tercantum sebuah paket pembelajaran yang akan dilalui oleh anak tersebut yang sebelumnya paket tersebut dipilih oleh orangtuanya dengan melihat kebutuhan belajar anaknya. Setelah itu lembaga pendidikan tersebut akan menyediakan pengajar yang akan mewujudkan paket pembelajaran yang telah dipilih.
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
            Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar.


note:
Verdiansyah, C. (2007). Home Schooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: Penerbit Kompas.  
Ikhasan, M. (2006). Pendidikan Alternatif di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/09/12/pendidikan-alternatif-di-indonesia/. Diakses pada Februari 19, 2011.
Simbolon, P. (2008). Homeschooling sebagai Pendidikan Alternatif. [Online]. Tersedia: http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.
Sumardiono (2007). Home Schooling: Lompatan Cara Belajar. Jakarta: Penerbit Alex Media Komputindo.
Seto Mulyadi. (2007). Home schooling Keluarga Kak-Seto: mudah, murah, meriah dan direstui pemerintah. Bandung: Kaifa-Mixan Pustaka
Undang-Undang Sisdiknas 2003. (2007). Jakarta: Sinar Grafika.

terima kasih telah mengunjungi blog saya :))

DilaMoticons . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates